Bengkulu, Sriwijaya24.com – Sidang perkara dugaan tindak pidana korupsi perjalanan dinas DPRD Kepahiang kembali menyita perhatian publik. Agenda persidangan di Pengadilan Tipikor Bengkulu hari ini menghadirkan momen penting, ketika kuasa hukum tiga terdakwa menyampaikan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). 2 Oktober 2025
Tiga terdakwa, masing-masing Joko Triono bin Supono Untung (Perkara Nomor 47/Pid.Sus-TPK/2025/PN Bgl), Nanto Usni bin M. Husen (Nomor 50), dan RM. Johanda bin R. Dencik (Nomor 51), hadir lengkap di ruang sidang. Mereka didampingi kuasa hukum Rustam Efendi, S.H., yang secara rinci membacakan eksepsi dengan narasi argumentatif.
Dalam nota keberatannya, Rustam Efendi menegaskan bahwa dakwaan JPU dinilai kabur, tidak cermat, dan tidak memenuhi syarat formil maupun materiil sebagaimana diatur Pasal 143 KUHAP. Ia berargumen, dakwaan yang tidak jelas tidak dapat menjadi dasar pemeriksaan perkara, sehingga semestinya batal demi hukum.
“Perjalanan dinas DPRD merupakan kegiatan resmi dengan prosedur administrasi yang jelas. Jika ada selisih dalam laporan pertanggungjawaban, itu harus diselesaikan melalui mekanisme administratif, bukan dijadikan perkara pidana,” ujarnya lantang di hadapan majelis hakim.
Rustam juga mengingatkan prinsip ultimum remedium, bahwa hukum pidana seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan instrumen utama dalam menindak persoalan administratif.
Sidang hari ini mendapat atensi luas dari masyarakat Bengkulu. Sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, mahasiswa, dan aktivis turut hadir menyaksikan jalannya persidangan.
Ahmad Yani, tokoh masyarakat Bengkulu Utara, menyebut eksepsi yang dibacakan jauh lebih rasional dibanding dakwaan JPU. “Kalau masalah administrasi langsung dipidana, semua pejabat bisa terjerat. Eksepsi hari ini membuka mata publik bahwa ada perbedaan jelas antara administrasi dan pidana,” tegasnya.
Sementara itu, Lestari, aktivis muda Bengkulu, menilai argumen pembelaan mudah dipahami publik.
“Harapan masyarakat jelas, hakim harus berani menolak dakwaan yang kabur dan tidak adil,” ujarnya.
Majelis hakim memutuskan sidang ditunda hingga Senin, 6 Oktober 2025, untuk mendengarkan jawaban JPU atas eksepsi. Putusan sela akan ditetapkan setelah mempertimbangkan argumentasi kedua belah pihak. Bila eksepsi diterima, dakwaan otomatis batal demi hukum. Namun jika ditolak, proses akan berlanjut ke tahap pembuktian dengan menghadirkan saksi-saksi.
Perkara perjalanan dinas DPRD Kepahiang dianggap sebagai tolak ukur penegakan hukum di Bengkulu. Publik menanti apakah pengadilan mampu membedakan persoalan administratif dengan tindak pidana.
“Kalau administratif, cukup diselesaikan di jalur administrasi. Kalau pidana, barulah diproses secara pidana. Itu yang masyarakat tunggu: kejelasan dan keberanian hakim,” ungkap seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.
Menutup persidangan, Rustam Efendi kembali menegaskan:
“Perkara ini bukan ranah pidana. Dakwaan JPU tidak jelas dalam menggambarkan peran terdakwa. Putusan sela nanti akan menjadi momentum bagi hakim untuk menunjukkan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat kriminalisasi administratif. Publik Bengkulu berhak mendapat kepastian hukum.” ***
Tinggalkan Balasan